blog visitors

Menera Kembali Makna Belajar Mahasiswa dalam Perannya sebagai Kawah Candradimuka Menuju Real Success Penghargaan tertinggi untuk sebuah kerja keras menuju sukses seseorang bukanlah sekedar apa yang ia hasilkan, tetapi bagaimana ia melesat dan berkembang karenanya (John Ruskin) By : Erny Ratnawati

Ibarat sebuah rumah besar, kampus sebagai rumah bernaung mahasiswa, begitu banyak menyediakan jendela yang dapat dibuka mahasiswa kapan saja dan dimana saja. Disanalah gerbang gerbang sukses menganga lebar. Kesempatan yang terkadang bersifat eksklusif dan terbatas, karena hanya diperuntukkan untuk mereka yang menyandangstatus mahasiswa saja. Kampus menyajikan beragam sediaan kebutuhan mahasiswa. Selain mendapat asupan ilmu setiap hari, peluang berkarir berbekal pengakuan sarjana berwujud lembaran ijazah berstrata sarjana menjadikan lulusan kampus memiliki daya tawar yang lebih tinggi, meskipun hal tersebut diakui tidak bersifat mutlak. Namun, setidaknya dengan title tersebut, dunia lebih serasa menghargai mereka. Adanya Career Development Center di Perguruan Tinggi juga sedikit banyak ikut berkontribusi membantu para alumni kampus untuk mengakses lowongan lapangan pekerjaan. Demikian juga koneksi horizontal kampus, dengan kata lain jaringan dan networking juga termasuk salah satu fasilitas kampus kepada mahasiswa untuk membantu memuluskan langkah cita citanya. Di ranah internal, kampus memfasilitasi mahasiswa dengan pemenuhan kebutuhan mahasiswa dengan menyediakan pilihan pengembangan softskill organisasi berwujud unit Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Beragam pilihan bidang yang menjadi passion dari tiap tiap UKM tersebut, mulai dari yang berkecimpung di ranah seni hingga lembaga mahasiswa yang bernafaskan religi.

Menilik paparan tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa secara timbangan ideal,dengan begitu banyak input yang diberikan, kampus benar benar menjadi lahan subur memupuk para mahasiswanya menjadi pribadi paripurna setelah keluar pasca kampusnya. Oleh karena itu, menjalani masa mahasiswa dalam waktu yang relative singkat dengan beragam fasilitas yang diberikan, tentu sungguh disayangkan ketika hanya berbuah pada kesia siaan belaka. Bagaimana tidak? sia sia karena uang melayang puluhan juta, sedangkan disisi lain, secara pengetahuan belum mampu menujukkan kematangan, sedangkan secara praktik masih banyak yang perlu dipertanyakan, skill masih belum cukup terasah, pengalaman minim, dan mental mudah mlempem . Bagaimana ingin menapak sukses? Namun, ironinya, hal demikian banyak terjadi dengan mahasiswa. Syndrom kekagetan menyeruak paska gelar mahasiswa itu dicabut dan berganti dengan lulusan Perguruan Tinggi. Kerasnya dunia kerja yang belum banyak dijamah tangan tangan mahasiswa semasa kuliah tersebut telah menghadirkan histeria histeria tersendiri. Profil mahasiwa kagetan ini juga banyak dijumpai terutama bagi mereka yang belum pernah mencoba keluar melihat di luar atap kampus. Dunia yang tak lagi berhiaskan serak sorai geguyonan, dan aktivitas hura hura. Bukan lagi pula, berkawan tidur dengan tumpukan buku dan diktat bertebal ratusan halaman atau segudang idealisme dalam bentangan spanduk spanduk panjang. Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, mau tidak mau menuntut adanya keseimbangan resources material yang ada dengan kualitas sumber daya manusianya. Proses mengejar keseimbangan ini tentu mensyaratkan bahwa personal di dunia kerja setidaknya harus terakreditasi dengan layak. Sekedar mengandalkan nilai saja, terbukti tidaklah cukup. Harus diimbangi dengan penguasaan dan ketrampilan lain yang mumpuni, hingga dapat membantu terbentuknya pribadi pribadi yang professional dan kompeten, sebagai supporting personal power dalam peta kesuksesan kehidupan dan karir seseorang.


Sarjana selalu SUKSES?
Sejatinya kesuksesan bukanlah suatu kewajiban yang tersurat dalam gelar sarjana. Tidak adasatupun aturan yang bertitah demikian. Namun, bagaimanapun juga kita tak mau memangkiri bahwa minsdset public telah terlanjur terset-up bahwa gelar sarjana selalu menjadi jalan lebar bagi penyandangnya ke rumah kesuksesan. Dengan predikat sarjana yang tersematkan, status sosial seorang di masyarakat menjadi terangkat ke posisi yang lebih tinggi. Kultur masyrakat kita juga masih memposisikan predikat ini menjadi sekian dari golongan kaum terpandang distratanya.
Namun sayangnya, kita seolah tertampar dengan statement sentilan seorang filosof Yunani Socrates ketika dengan lugas menyatakan bahwa sekolah- termasuk dalam hal ini didalamnya sekolah adalah bangku kuliah, hanya menjadi sekian dari sumber lahirnya masalah masalah. Ironisnya, statement tersebut semakin dimfhumi banyak orang, terlebih karena tak sedikit lontaran Socrates tersembul dipermukaan kenyataan sedikit demi sedikit. Di lapangan kita sering tak bisa mengelak melihat fenomena memprihatinkan ini. Seiring ribuan wisudawan yang melangkahkan kaki keluar dari aula Unversitas mereka saat diwisuda tiap tahunnya itu seiring pula bayang deretan calon calon pengangguran intelektual menjadi ancaman didepan mata. Ribuan jajar ijazah berstempel bahkan dari Universitas ternama, takselalu cukup menggemingkan dunia kerja yang begitu pekik dan hiruk pikuk. Ledakan populasi dunia yang mencapai ambang angka 7 milyar tak dinyana terasa begitu sesak, seperti itu pula laiknya yang dirasakan para fresh graduated atau bahkan old graduated yang turut berdesakan bersaing bergulat mencari lahan sesuap nasi. Lebih memprihatinkan, ketika realita terungkap bahwa pengangguran dari lingkaran sarjana terdidik ternyata mencatut jumlah yang mencengangkan. Kita jua tak mampu menutup mata dengan fakta yang berbicara bahwa angka pengangguran tinggi telah melahirkan beragam problema sosial. Dan yang lebih ironis, ketika kita menyadari bahwa lulusan perguruan tinggi yang diamanatkan sebagai agent pembaharu dalam masyarakat, ternyata turut menyumbang sebagian jumlah tersebut disana.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Hal tersebut diantaranya ditengarai karena adanya banyak ketimpangan. Salah satunya adalah begitu banyak mahasiswa tak bisa “purna belajar” meski purna kuliah mereka. Mereka dianggap gagal untuk menyelesaikan proses belajar di perguruan Tinggi. Bukan karena Indeks prestasi yang tak mencapai batas normal ataupun masa studi yang terlampau lama. Tapi karena gagal menerjemahkan proses belajar yang sesungguhnya. Dalam teori Experiental learning, belajar dimanapun berada sejatinya adalah kegiatan yang terformulasi untuk meningatkan lima hal, yakni Knowledge, Skill, Technique, Attitude, Experience (KSTAE) (Pengetahuan, Keterampilan, Teknik, Sikap dan Pengalaman). Belajar dalam arti yang sesungguhnya seperti yang dituturkan oleh Raka Joni bahwa belajar berarti mengubah pengetahuan dan pemahaman secara terus menerus yang dilakukan siswa melalui proses pemberian makna terhadap pengalamannya.
Dapat disimpulkan bahwa belajar itu pada hakekatnya merupakan suatu proses yang bermakna, dimana siswa dapat secara langsung mengembangkan pengetahuannaya Menurut D.A Benton yang telah mensurvei para CEO (Chief Executives Officers) dari berbagai bidang industri, belajar merupakan salah satu kebiasaan penting para CEO sukses. Pemimpin perusahaan yang efektif senantiasa mengembangkan diri dengan belajar, karena mereka banyak mendapatkan manfaat dari kebiasaan sukses ini. Survei yang dilakukan terhadap orang-orang yang sudah mencapai posisi puncak membuktikan bahwa mereka juga memiliki kebiasaan ”belajar”. Pertanyaan selanjutnya: Bagaimana mereka bisa memiliki waktu belajar di tengah kesibukan mereka? Ternyata mereka bisa belajar kapan saja, dimana saja, dan dari siapa saja. Pemaknaan proses belajar yang unik ini selayaknya kemudian menjadi inspirasi para pemburu kesuksesan. Bahwa ”belajar” tak cukup dengan selalu bergelut tumpukan buku. Belajar tak cukup hanya menghafal materi sebelum ujian atau kepuasan ketika mendapat nilai A di setiap quiz yang diberikan dosen. Lebih dari itu. Seperti telah tertera dalam Exprimental Learning , konsep Knowledge, Skill, Technique, Attitude, Experience (KSTAE) harus selayaknya menjadi target pembelajaran setiap personal mahasiswa yang menyadari akan kebutuhan atas kesuksesan yang ingin diperoleh kelak paska kuliah. Meski tidak terinclude dalam kurikulum formal kuliah, sudah selayakna masing masing mahasiswa mampu menginternalisasikan dengan pemikiran dan perbuatannya di masa belajarnya. Dengan meneladani sikap ini, diharapkan mahasiswa juga benar benar tersiapkan menjadi orang sukses bahkan semenjak sebelum lulus kuliah.
Success is Truly Our Right
Belajar dari kawah keramat di dunia pewayangan- Kawah Candaradimuka, kita belajat tentang makna sebuah proses penggodokan.. Kawah candradimuka telah bersejarah menggodok seorang tokoh kondang di belantara pewayangan, Gatotkaca menjadi sosok ksatriya kekar urat kawat tulang besi. Tentu bukan serta merta ia keluar dari bibir kawah dengan sekejap mata. Gatotkaca membutuhkan ratusan warsa untuk menerima ilmu ilmu kanuragan, hingga kemudian proses dalam kawah itu membuatnya gagah perkasa. Sang kepompong juga harus rela berproses menjadi ulat yang menjijikkan sebelum bermetamorfosa menjadi kupu kupu cantik. Begitu juga tiram, benda asing yang masuk ke cangkangnya, telah membuatnya begitu menderita. Namun tiram begitu sabar, mendekami cangkangnya sekian lama dan kemudian ia telah membalutnya menjadi suatu perhiasan yang ditaksir harganya mampu menembus angka ratusan juta. Mutiara. Sedemikian sempurna Tuhan telah mengajarkan kepada manusia dengan sentuhan kreasi ciptaanNya di alam semesta. Seolah memberikan pelajaran kepada kita bahwa produk produk brilian tidak lahir dari sekedar proses yang instan. Kesuksesan bukanlah hasil yang diperoleh tanpa kerjakeras dan pengorbanan, Mencari hasil tanpa aksi seperti mencari lubang jarum di tumpukan jerami. Sejatinya hukum alam akan berlaku sepanjang masa, bahwa takkkan ada reaksi tanpa ada aksi. Begitupula hal tersebut yang menjadi inspirasi pengetahuan seorang ilmuwan Albert Einsten ketika menemukan teori termasyhur sepanjang sejarah peradaban manusia. Teori relativitas. Bahwa Energi senantiasa akan selalu berbanding lurus dengan massa. Hasil akhir sejatinya akan senantiasa berbanding seiring dengan ikhtiar dan usaha Memahami sukses bagi mahasiwa, adalah sejatinya menanamkan motivasi pada diri bahwa sukses adalah formula yang diramu dari doa, keyakinan dan ikhtiar yang pasti, kesabaran diri dan kesungguhan langkah tak kenal henti. Untuk itu, sangat penting untuk menggugah kembali semangat mahasiswa untuk mampu memaknai masa kuliahnya sebagai kawah candradimuka untuk belajar menuju puncak sukses. Meminjam prinsip Kaizen-prinsip brilian masyarakat Jepang untuk memburu kesuksean yakni tentang belajar perbaikan dan peningkatan kecil, meski tampak tak berarti, namun berkesinambungan tanpa henti. Terakhir, sebagai penutup, penulis mencoba menilik kembali sekelumit paparan diawal, tentang beragam fasilitas yang sejatinya dapat dioptimalkan oleh mahasiswa di rumah belajarnya, yakni kampus, untuk mememuluskan jalan citanya. Sejatinya hal tersebut sekaligus telah mengajak kita untuk kembali melihat jalan mengambil peluang peluang sukses itu. Peluang mereguk emas telah tersedia, tinggal langkah siapa yang paling sigap dan tegap untuk menyambutnya.
Everyone has a right to success! I, You and All of Us…..

0 komentar:

Posting Komentar